Peran Pemerintahan dan DPR Aceh Keberlanjutan Implementasi MoU Helsinki dan UUPA

Peran Pemerintah dan DPRA dalam Implementasi MoU dan UUPA

Peran Pemerintah Aceh di Era Muzakir Manaf dan DPRA dalam Mewujudkan Keberlanjutan Perjanjian Damai (Refleksi dua dekade MoU Helsinki Dan UUPA)

Oleh: ust.Bustami Ahmad,S.Ag.,M.Pd

Inti Permasalahan

Tulisan ini mengkaji capaian dan tantangan implementasi MoU Helsinki selama 20 tahun (2005–2025), serta bagaimana Pemerintah Aceh, dipimpin oleh Muzakir Manaf, dan DPR Aceh melalui UUPA, berkontribusi dalam mewujudkan semangat perdamaian tersebut. Berdasarkan data empirik, opini ahli, dan literatur rujukan, artikel ini memberikan rekomendasi kebijakan untuk mempercepat realisasi hak-hak masyarakat Aceh termasuk kompensasi, pendidikan, penyelesaian HAM, dan tata kelola otonomi khusus serta menegaskan urgensi evaluasi berkala berbasis transparansi dan keadilan.

1. Awal Pembahasan

Latar belakang: MoU Helsinki ditandatangani pada 15 Agustus 2005 sebagai upaya menyelesaikan konflik antara Pemerintah RI dan GAM melalui pendekatan damai .

Rumusan masalah: Sejauh mana implementasi MoU ini telah berjalan? Apa tantangan utama yang masih dihadapi dan bagaimana Pemerintah Aceh beserta DPRA harus bertindak ke depan?

2. Tinjauan Pustaka

Referensi utama:

Peace in Aceh: Notes on the RI‑GAM Peace in Helsinki (Hamid Awaluddin, 2007)

To See the Unseen, The Story Behind Peace in Aceh (Farid Husain, 2007)

Making Peace: Ahtisaari and Aceh (Katri Merikallio, 2006) 

Kajian akademis terbaru:

Peran otonomi khusus melalui UUPA telah membuka ruang pembangunan lokal, tetapi masih dipenuhi politik oligarki dan ketimpangan sosial .

KKR Aceh, walau dibentuk, belum efektif dalam pemulihan korban pelanggaran HAM berat .

3. Metode

Kajian bersifat kualitatif-deskriptif, dengan data primer dari pernyataan Gubernur Aceh dan data sekunder dari literatur ilmiah, opini, dan laporan media selama peringatan 20 tahun damai.

4. Hasil dan Pembahasan

4.1. Realisasi MoU Helsinki: Capaian dan Keterbatasan

Gubernur Muzakir Manaf menyatakan bahwa hanya sekitar 35 % dari butir MoU Helsinki yang telah terealisasi dalam dua dekade terakhir .

Salah satu janji yang belum dipenuhi adalah pemberian dua hektare tanah bagi mantan kombatan GAM dan anak yatim piatu  hingga kini belum terealisasi sama sekali .

Pengelolaan dana Otsus dan sumber daya alam masih minim transparansi dan belum menyejahterakan rakyat .

4.2. KKR dan HAM: Rekonsiliasi yang Terhambat

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), yang dibentuk sebagai bagian dari penyelesaian HAM, belum menunjukkan efektivitas nyata dalam menuntaskan pelanggaran HAM berat dan memberikan restitusi kepada korban .

4.3. Otonomi Khusus (UUPA): Ruang Aspirasi Rakyat, Potensi Oligarki

UUPA memberi peluang politik dan legislasi lokal. Namun, dinamika politik di Aceh lebih banyak dikuasai elite lokal, sehingga suara rakyat kecil sering kali terpinggirkan .

Pemerintah Aceh dan DPRA perlu memperkuat mekanisme pengawasan publik agar otonomi membawa kesejahteraan bukan hanya menjadi alat politik.

4.4. Pendapat Para Ahli dan Tokoh

Prof. Hamid Awaluddin menegaskan bahwa keputusan pemerintah pusat terkait Aceh harus selalu menempatkan MoU Helsinki sebagai acuan hukum dan politik, termasuk keterlibatan DPRA dalam setiap keputusan yang menyangkut Aceh .

Prof. Mujiburrahman (melalui perwakilan) mengajak Aceh melihat perdamaian sebagai fondasi untuk pembangunan berkelanjutan: mengatasi kemiskinan, stunting, penyalahgunaan narkoba, dengan logika dan integritas (logos dan ethos) sebagai pemandu masa depan Aceh .

4.5. Refleksi Komunitas: Perspektif Rakyat

Beberapa pengamatan warga mencerminkan rasa frustrasi terhadap realisasi pembangunan:

 “Aspek pendidikan… meskipun ada upaya, kualitas dan lapangan kerja masih tertinggal...” .

5. Rekomendasi Kebijakan

1. Pembentukan Tim Evaluasi Multistakeholder

Pemerintah Aceh, bersama DPRA, akademisi, dan LSM, perlu membentuk tim evaluasi rutin kemajuan implementasi MoU, disertai publikasi laporan berkala.

2. Penyelesaian Kompensasi Tanah

Realisasikan segera pemberian tanah untuk mantan kombatan, anak yatim, dan mantan napi politik sebagai bentuk rekonsiliasi konkret.

3. Reaktivasi KKR yang Mandiri

Perkuat KKR agar berfungsi secara independen, transparan, dan melibatkan korban untuk pemulihan dan pertanggungjawaban HAM.

4. Penguatan Transparansi Dana Otsus

Optimalkan penggunaan dana otonomi khusus dengan mekanisme pengawasan, termasuk audit publik dan keterlibatan DPR Aceh.

5. Prioritaskan Pendidikan dan Pemberdayaan Ekonomi

Alokasikan anggaran untuk perbaikan kualitas pendidikan, pembangunan infrastruktur sekolah, dan pelatihan vokasional untuk generasi muda Aceh.

6. Memperkuat Peran DPRA

DPRA harus menjadi pengawal implementasi UUPA dan MoU, memastikan hal-hal lokal sesuai dengan aspirasi rakyat, bukan hanya kepentingan komoditas politik

7. Membangun Masa Depan Perdamaian “Beyond Peace”

Berdasarkan visi Prof. Mujiburrahman, Aceh harus menerjemahkan damai menjadi pembangunan inklusif: menurunkan stunting, mendukung kesehatan, dan memberdayakan masyarakat melalui integritas dan data.

6. Penutup

Dua dekade telah berlalu sejak MoU Helsinki menandai harapan baru bagi Aceh. Meskipun sejumlah kemajuan tercapai, masih terdapat defisit implementasi yang harus segera ditutup. Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Muzakir Manaf  dan DPR Aceh memiliki tanggung jawab besar untuk membumikan segala ketentuan perjanjian tersebut, memasukkan nilai-nilai keadilan, transparansi, dan kesejahteraan rakyat sebagai inti perdamaian yang berkelanjutan.

Referensi

Perjanjian MoU Helsinki dan strukturnya 

Realisasi 35 % MoU dan isu tanah 

KKR dan HAM 

Pola oligarki dan politik lokal 

Pandangan Prof. Hamid Awaluddin 

Visi masa depan dari Prof. Mujiburrahman 

Opini tentang pendidikan dan pemberdayaan masyarakat 

Redaksi: Islamic tekhno tv.com



Posting Komentar untuk "Peran Pemerintahan dan DPR Aceh Keberlanjutan Implementasi MoU Helsinki dan UUPA "