Kewajiban Amal Ma'ruf dan Pencegahan Kemungkaran Tingkatan Otoritas

Kajian Ilmiah by. Dr Tgk.H.Amri Fatmi,LC.,MA

Dirangkum: Cik Gu Bustami,S.Ag.,M.Pd                 ( Pada MTsN 5 Pidie )

Klik Diskusinya

Tema : “Kewajiban Amar Maʿrūf wa Nahy al‑Munkar (Amal Maʿrūf dan Pencegahan Kemungkaran)”

Dari berbagai tingkatan profesi (tingkatan otoritas / kekuasaan) hingga tingkatan paling dasar (hati).

Awal kata

Amar maʿrūf nahi munkar adalah salah satu prinsip penting dalam Islam: menyuruh kepada yang baik (maʿrūf) dan mencegah atau melarang yang buruk (munkar). Prinsip ini tidak hanya menjadi ajaran moral individual, tetapi juga landasan pembinaan sosial dan kenegaraan dalam perspektif Islam. Namun, dalam implementasinya, tidak semua orang memiliki kapasitas atau peran sama, ada yang sebagai individu biasa, ada yang sebagai tokoh masyarakat, pejabat, ulama, dan pemegang kekuasaan formal. Maka, kewajiban amar maʿrūf dan nahi munkar harus dilihat secara bertingkat dan proporsional sesuai kemampuan dan kedudukan masing-masing.

Tujuan artikel ini adalah untuk menguraikan:

1. Landasan dalil (naqli & aqli) kewajiban amar maʿrūf & nahi munkar.

2. Tingkatan-tingkatan implementasi (dengan tangan, lisan, hati) dan bagaimana tanggung jawabnya berbeda menurut posisi / profesi.

3. Syari'at, batasan (adzimah), etika pelaksanaan, risiko dan penafsiran kontemporer.

4. Pandangan ulama masa kini dan kitab rujukan terkait.

Semoga bermanfaat sebagai referensi akademis dan praktis.

Landasan Dalil

Dalil dari Al‑Qur’ān

Beberapa ayat yang menjadi rujukan utama:

1. QS. Al-ʿĀjr (7): 157

يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

Ayat ini menunjukkan bahwa bagian dari misi Islam adalah memerintahkan kebaikan dan melarang kejahatan, yaitu bahwa amar maʿrūf dan nahi munkar merupakan bagian integral dari risalah Islam. 

2. QS. Ali Imrān (3): 110

 كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

Dalam ayat ini, umat Islam disebut sebagai umat terbaik karena memerintahkan yang maʿrūf dan mencegah yang munkar, selain beriman kepada Allah. 

3. QS. Āl ʿImrān (3): 104

 وَلْتَكُن مِنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ

Ayat ini memerintahkan agar di antara kalian ada kelompok yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh berbuat maʿrūf, dan mencegah dari kemungkaran. 

4. QS. Al-Hajj (22): 40–41

 … وَإِنَّ اللَّهَ لَيُعَذِّبُ الْمُجْرِمِينَ … وَالَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنكَرِ …

Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang diberikan kekuasaan (makāna) di bumi, jika mampu, hendaknya mereka menegakkan shalat, zakat, amar maʿrūf, dan nahi munkar. 

Dalil dari Hadis

Hadis klasik yang sangat sering dikutip:

 مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia ubah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi) 

Hadis ini memuat tiga tingkatan pelaksanaan amar-nahi: tangan (kekuasaan fisik), lisan (nasihat/verbal), dan hati (penolakan internal).

Selain itu, terdapat hadis lain yang mendukung konsep amar maʿrūf nahi munkar sebagai bagian dari agama / nasīhat / kewajiban moral, seperti:

Hadis: الدِّينُ النَّصِيحَةُ (Agama itu adalah nasihat) , termasuk kepada Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin dan umat.

Hadis tentang jihad yang terbaik: “kata yang benar di depan penguasa zalim” (مجرّد القول بالحق أمام الحاكم الظالم) , sebagai bentuk amar terhadap penguasa. 

Dalil Rasional / Aqli

Secara rasional dan sosiologis, kewajiban amar maʿrūf nahi munkar dapat dipahami sebagai upaya menjaga keadaban moral, mencegah kerusakan sosial, dan memelihara kohesi masyarakat. Apabila tidak ada mekanisme moral yang aktif, kejahatan dan kemungkaran akan merajalela, dan nilai-nilai agama akan tergerus. Dengan demikian, bukan hanya aspek individual tetapi juga aspek kolektif dan sistematik dalam Islam menuntut adanya pengontrol moral. (Beberapa kajian kontemporer memfokuskan ini sebagai “tanggung jawab sosial Islam”). 

Tingkatan Pelaksanaan berdasarkan Kapasitas / Profesi

Untuk memahami kewajiban amar maʿrūf dan nahi munkar dalam konteks “profesi atau kedudukan”, kita harus melihat kapasitas, wewenang, dan batas tanggung jawab. Berikut tinjauan berdasarkan tingkatan:

Tingkatan / Kategori Profesi / Posisi Bentuk Amar / Nahi yang Diharapkan Karakteristik / Catatan Khusus

Pejabat Negara / Pemegang Kekuasaan Formal Mengubah dengan tangan (kekuasaan), menyusun regulasi, membuat kebijakan, menegakkan hukum yang maʿrūf dan mencegah kebijakan mungkar Memiliki kewajiban lebih besar karena memiliki instrumen dan kapasitas, serta tanggung jawab publik

Ulama / Tokoh Masyarakat / Aktivis Menasihati, mengadvokasi kebijakan, memberi peringatan publik, berdakwah Meskipun tidak memiliki kekuasaan formal, mereka memiliki pengaruh moral dan legitimasi keagamaan

Masyarakat umum / Individu biasa Menegur secara adab, memberi nasihat lisan, mencegah bila mampu, atau menolak dengan hati Batasannya sesuai kemampuan dan kondisi realitas sosial (risiko keselamatan, efektifitas)

Berikut penjelasan lebih rinci tiap tingkatan:

1. Pejabat / Pemegang Kekuasaan

Orang yang berada di posisi kekuasaan (misalnya penguasa, aparat, pejabat publik) memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam menegakkan amar maʿrūf dan nahi munkar karena mereka memiliki sarana (kekuasaan, hukum, institusi) untuk melakukan perubahan struktural.

Dalil: QS. Al-Hajj (22): “… وَالَّذِينَ إِن مَّكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ … أَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنكَرِ …” 

Dalam prakteknya, pejabat harus mengatur regulasi, melakukan penegakan hukum, mengawasi pelaksanaan norma-norma agama dan moral, baik dalam ranah publik maupun sosial.

Namun tindakan mereka harus tunduk pada syarat-syarat syariah: tidak boleh melampaui batas, tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar, dan harus proporsional. (Sabda: “sebaik-baik jihad adalah ucapan yang hak di sisi penguasa yang zalim”) 

Kritik terhadap penguasa (amar terhadap penguasa) dibolehkan jika memenuhi adab, dasar ilmu, dan cara yang bijak. 

Namun, tidak semua orang berhak mengkritik penguasa: harus punya ilmu dan kapasitas untuk melakukannya, dan harus menghindari fitnah, chaos, atau anarkisme. 

2. Ulama / Tokoh Masyarakat

Ulama, dai, tokoh agama, atau aktivis memiliki posisi strategis dalam menyebarkan nilai-nilai moral dan keagamaan. Mereka meskipun tidak selalu memiliki kekuasaan politik, tetapi memiliki legitimasi sosial dan pengaruh.

Tugas mereka adalah memberi nasihat kepada pemerintah dan masyarakat agar tata kehidupan sosial senantiasa berdasar syariah dan adab.

Ulama berfungsi sebagai “partner pemerintah” dalam sistem check and balance: menyampaikan kebenaran, mencegah kemungkaran dalam masyarakat maupun dalam pemerintahan. 

Dalam konteks ini, metode yang digunakan biasanya dakwah, advokasi, pendidikan, kritik moral.

Ulama harus memperhatikan syarat-syarat amar-nahi: ilmu, adab, dampak, kemampuan, dan strategi bertahap. 

Misalnya, Imam al-Ghazali dalam Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn membagi pola amar maʿrūf menjadi beberapa tingkatan (taʿrīf → nasihat lemah lembut → teguran keras → tindakan fisik) sesuai situasi. 

3. Individu / Masyarakat Biasa

Bagi orang biasa (tanpa jabatan atau pengaruh besar), kewajiban amar maʿrūf dan nahi munkar tetap ada, tetapi dalam batas kemampuan.

Hadis yang menyebut tingkatan tangan, lisan, hati menunjukkan bahwa jika seseorang tidak mampu bertindak fisik atau menyuarakan dengan aman, maka paling tidak ia menolak dalam hati. 

Beberapa poin penting:

Bila bisa, lakukan secara langsung (misalnya menegur dengan baik)

Jika tidak aman atau tidak memungkinkan, cukup memberi nasihat atau menyampaikan dengan lisan

Jika lisan pun tidak mungkin, setidaknya dalam hati (menolak kemungkaran dalam hati) ,  dan ini dianggap merendah menjadi kelemahan iman (أَضْعَفُ الْإِيمَانِ). 

Tetapi, seseorang yang “tidak mau menolak dalam hatinya” tidaklah dikatakan beriman penuh. (Karena bagian hati merupakan tolok ukur paling minimal)

Dalam masyarakat, jika sebagian sudah melaksanakan amar-nahi, maka kewajiban umum bisa gugur (fardhu kifāyah) ,  yaitu tidak mesti setiap individu melakukan secara langsung sepanjang ada yang mengambil peran. 

Syarat, Batasan, dan Etika Pelaksanaan

Agar amar maʿrūf dan nahi munkar tidak berubah menjadi tindakan negatif atau merusak, para ulama menetapkan beberapa syarat, batasan, dan etika penting:

Syarat agar kewajiban menjadi wajib (bukan hanya mustahab)

Dalam fiqh klasik dan beberapa literatur kontemporer, terdapat syarat‑syarat agar amar maʿrūf dan nahi munkar menjadi wajib atas seseorang:

1. Memiliki ilmu ,  memahami apa yang maʿrūf dan munkar, hukum syariat terkait

2. Memiliki kemampuan / daya (qudrah) , apakah secara fisik, sosial, atau psikologis mampu melakukan amar atau nahi

3. Ada harapan pengaruh / manfaat ,  bahwa tindakan itu mungkin menggugah perubahan atau mencegah kemungkaran

4. Tidak menimbulkan kerusakan (mafsadah) yang lebih besar daripada manfaatnya

5. Dilakukan dengan cara yang sesuai adab / etika

Jika seseorang tidak memenuhi syarat-syarat di atas, maka kewajiban amar-nahi untuknya bisa menjadi tidak wajib atau hanya pada tingkatan minimal (hati). (Pandangan ini muncul dalam literatur fikih dan ushul) 

Batasan dan adzimah (tegahan keras) / risiko

Beberapa batasan penting yang sering ditekankan:

Amar-nahi tidak boleh dilakukan dengan cara yang melampaui batas syariah (kekerasan, fitnah, anarkisme) 

Tidak boleh memaksakan orang lain ketika alasan dan kapasitasnya tidak memungkinkan

Tidak boleh menimbulkan mudarat yang lebih besar daripada manfaat

Harus dilakukan secara bertahap, prioritas, dengan cara lemah lembut bila memungkinkan 

Pelaku harus menjaga adab, menghindari kesombongan, hinaan, cacian, menyepelekan orang yang bermaksiat (etika amar) 

Jangan sampai amar-nahi menjadi alat kekerasan atau diskriminasi moral terhadap kelompok lemah atau yang terpinggirkan

Etika pelaksanaan menurut al‑Ghazali

Dalam Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn, Imam al‑Ghazali membahas tata cara amar maʿrūf & nahi munkar:

Mulailah dari yang paling lemah (taʿrīf / memperkenalkan) → nasihat lemah lembut → teguran keras jika perlu → tindakan lebih tegas bila situasi memaksakan. 

Perlu memperhitungkan kondisi orang yang dinasihati: akal, status, kondisi, daya tanggap

Tidak boleh mencela dengan kata kotor atau hinaan yang melecehkan

Niat yang tulus, bukan mencari pujian atau kekuasaan

Pandangan Ulama Kontemporer dan Aplikasi dalam Konteks Modern

Beberapa kajian dan pandangan masa kini memberikan perspektif tambahan:

1. Beberapa kelompok ekstrem menafsirkan amar-nahi sebagai pembenaran tindakan kekerasan atau tindakan sepihak. Namun, kajian kritis menolak itu sebagai penyalahgunaan dan menyebutnya sebagai salah penafsiran terhadap prinsip amar-nahi. 

2. Dalam kajian kontemporer “Discourse on Amar Maʿrūf Nahi Munkar in Islamic Theology”, dijelaskan bahwa aspek humanis, konteks sosial dan dialog sangat penting agar amar-nahi tidak menjadi keras dan dogmatis. 

3. Dalam tulisan “Dua Kaidah yang Menghidupkan Kehidupan Beragama: Amar Maʿrūf Nahi Munkar dan Ar-Raqāʾiq”, ditegaskan bahwa amar-nahi harus dibarengi kelembutan hati (raqa’iq) agar tidak memunculkan resistensi. 

4. Di Indonesia, para penceramah dan ulama sering mengingatkan bahwa pejabat/penguasa tidak boleh abai dari tanggung jawab amar-nahi, dan bahwa masyarakat biasa pun tidak boleh diam terhadap kemungkaran kecil. 

5. Namun, mereka juga mengingatkan agar amar-nahi dilakukan dengan adab, tidak menjadi pemberangus kebebasan atau menimbulkan konflik horizontal. 

Kitab‑kitab rujukan kontemporer / modern yang sering dikaitkan:

Iḥyāʾ ʿUlūm al-Dīn oleh Imam al-Ghazali (klasik namun sangat dirujuk hingga sekarang)

Kitab-kitab fiqh siyasah / fikih kontemporer yang membahas pemerintah, negara Islam, dan hukum amar-nahi

karya-karya kontemporer dalam jurnal Islam (sebagai artikel kajian teoritik) seperti yang disebut di atas

Kesimpulan dan Rekomendasi

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan:

1. Amar maʿrūf dan nahi munkar adalah kewajiban agama yang bersifat universal, namun implementasinya bergantung pada kapasitas, posisi, dan kemampuan masing-masing.

2. Tiga tingkatan pelaksanaan (tangan, lisan, hati) memberi fleksibilitas bagi individu sesuai kondisi mereka.

3. Bagi pejabat / pemegang kekuasaan, tanggung jawabnya lebih besar karena kemampuan institusional untuk menegakkan norma dan mencegah kemungkaran struktural.

4. Untuk memastikan pelaksanaan yang aman dan benar, harus ada syarat-syarat: ilmu, kemampuan, pertimbangan dampak, dan adab.

5. Dalam konteks modern, amar-nahi harus dikaitkan dengan dialog, kemanusiaan, kelembutan hati, dan sensitivitas terhadap konteks sosial agar tidak memicu konflik atau penyalahgunaan.

Rekomendasi praktis bagi semua orang:

Untuk pejabat: jadikan amar-nahi sebagai bagian dari kebijakan publik dan penegakan hukum berdasarkan nilai moral dan syariah.

Untuk ulama / tokoh masyarakat: aktif memberi nasihat, advokasi, dan pendidikan moral.

Untuk individu: lakukan amar-nahi sejauh kemampuan, mulailah dari hal kecil, dan minimal tolak dalam hati jika tidak bisa dengan lisan atau tindakan.

Redaksi: Islamic tekhno tv com 

Posting Komentar untuk "Kewajiban Amal Ma'ruf dan Pencegahan Kemungkaran Tingkatan Otoritas"