Tata Cara Shalat dalam Kondisi Tertentu (Shalat Orang Sakit, Shalat di Kendaraan, Shalat dalam Peperangan, dll.)
1. Shalat bagi Orang Sakit
Orang sakit yang tidak mampu shalat seperti biasa diperbolehkan shalat sesuai kemampuannya, baik dengan duduk, berbaring, atau isyarat.
Dalil-dalil:
1. Al-Qur'an
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya..." (QS. Al-Baqarah: 286)
"Maka bertakwalah kamu kepada Allah sesuai dengan kesanggupanmu..." (QS. At-Taghabun: 16)
2. Hadis Nabi ﷺ:
Dari Imran bin Husain radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bersabda:
"Shalatlah dengan berdiri. Jika tidak mampu, maka dengan duduk. Jika tidak mampu juga, maka dengan berbaring." (HR. Bukhari No. 1117)
Pendapat Ulama:
Mazhab Syafi’i & Hambali: Jika tidak mampu berdiri, boleh duduk. Jika tidak mampu duduk, boleh berbaring. Jika tidak mampu berbaring, cukup dengan isyarat mata atau hati.
Mazhab Hanafi: Tidak wajib shalat bagi orang yang tidak mampu menggerakkan anggota badannya.
Mazhab Maliki: Jika seseorang hanya bisa shalat dengan hati, shalatnya tetap sah.
Kitab Rujukan:
1. Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (Imam An-Nawawi)
2. Al-Mughni (Ibnu Qudamah)
3. Bidayatul Mujtahid (Ibnu Rusyd)
2. Shalat di Kendaraan
Shalat di kendaraan diperbolehkan jika seseorang tidak bisa turun atau ada uzur syar’i.
Dalil-dalil:
1. Al-Qur'an:
"Maka kemanapun kamu menghadap, di situlah wajah Allah..." (QS. Al-Baqarah: 115)
2. Hadis Nabi ﷺ:
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata:
"Nabi ﷺ shalat sunnah di atas kendaraan beliau ke mana pun ia menghadap." (HR. Bukhari No. 1096, Muslim No. 700)
Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ shalat di atas kendaraannya dan hanya memberi isyarat untuk rukuk dan sujud. (HR. Bukhari No. 1099)
Pendapat Ulama:
Mazhab Syafi’i, Hambali, dan Maliki:
Shalat fardhu harus dilakukan di darat kecuali dalam kondisi darurat.
Shalat sunnah boleh dilakukan di atas kendaraan.
Mazhab Hanafi:
Tidak sah shalat fardhu di atas kendaraan kecuali dalam kondisi perang atau bahaya.
Kitab Rujukan:
1. Al-Mughni (Ibnu Qudamah)
2. Fathul Bari (Ibnu Hajar Al-Asqalani)
3. Al-Umm (Imam Syafi’i)
3. Shalat dalam Keadaan Peperangan (Shalat Khauf)
Shalat dalam perang memiliki tata cara khusus agar tetap bisa dilaksanakan meskipun dalam kondisi darurat.
Dalil-dalil:
1. Al-Qur'an:
"Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat bersamamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh), dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu..." (QS. An-Nisa: 102)
2. Hadis Nabi ﷺ:
Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
"Aku menyaksikan shalat khauf bersama Rasulullah ﷺ, di mana kami dibagi menjadi dua kelompok; satu kelompok shalat dengan Rasulullah ﷺ sementara yang lain berjaga." (HR. Muslim No. 842)
Tata Cara Shalat Khauf:
Cara pertama: (QS. An-Nisa: 102)
Imam shalat dua rakaat.
Kelompok pertama shalat satu rakaat bersama imam, kemudian berjaga.
Kelompok kedua datang dan shalat satu rakaat dengan imam.
Setelah itu, masing-masing menyempurnakan satu rakaat sendirian.
Cara kedua:
Imam shalat dua rakaat dengan kelompok pertama dan salam.
Kelompok kedua datang dan shalat dua rakaat sendiri.
Pendapat Ulama:
Mazhab Syafi’i & Hambali: Menyunnahkan cara yang dijelaskan dalam hadis.
Mazhab Maliki: Boleh shalat sambil berjalan atau bahkan isyarat jika keadaan sangat genting.
Mazhab Hanafi: Jika tidak memungkinkan, shalat boleh diqadha setelah perang selesai.
Kitab Rujukan:
1. Al-Muhalla (Ibnu Hazm)
2. Al-Mughni (Ibnu Qudamah)
3. Fathul Bari (Ibnu Hajar Al-Asqalani)
4. Shalat dalam Keadaan Ketakutan atau Darurat
Jika seseorang dalam keadaan ketakutan atau darurat (misalnya bencana alam, banjir, gempa), maka ia boleh shalat sesuai kemampuannya.
Dalil-dalil:
1. Al-Qur'an:
"Dan jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan..." (QS. Al-Baqarah: 239)
2. Hadis Nabi ﷺ:
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
"Ketika kami sedang menghadapi musuh, Rasulullah ﷺ membolehkan kami shalat sambil berjalan atau berkendaraan, menghadap kiblat atau tidak." (HR. Bukhari No. 4535)
Pendapat Ulama:
Mayoritas Ulama: Jika dalam kondisi darurat, shalat boleh dilakukan dengan isyarat atau bahkan diqadha setelah keadaan normal kembali.
Kitab Rujukan:
1. Al-Mughni (Ibnu Qudamah)
2. Subulus Salam (Ash-Shan’ani)
3. Fathul Bari (Ibnu Hajar)
Kesimpulan
1. Orang sakit shalat sesuai kemampuannya: berdiri → duduk → berbaring → isyarat.
2. Di kendaraan, shalat sunnah boleh, shalat wajib hanya jika darurat.
3. Dalam perang, ada shalat khauf dengan berbagai cara yang dijelaskan Al-Qur'an dan hadis.
4. Dalam keadaan darurat, shalat bisa dilakukan sambil berjalan, isyarat, atau diqadha.
Semua ini menunjukkan bahwa Islam memberikan kemudahan dalam ibadah tanpa menghilangkan kewajibannya.
Redaksi : Islamic tekhno tv.com
Posting Komentar untuk "Tata Cara Shalat Dalam Kondisi Tertentu"